DAMPAK IDENTITAS POLITIK TERHADAP KONSOLIDASI DEMOKRASI DI INDONESIA
Identitas Politik
Salah satu pengertian identitas politik menurut Agnes Haller dan Sonja Punsher (2017) adalah sebuah konsep dan gerakan politik yang berfokus pada perbedaan sebagai kategori politik yang utama. Hal ini muncul karena kegagalan grand narasi, seperti gagasan kebebasan dan toleransi. Politik perbedaan menjadi nama baru dari identitas politik; rasisme, bio-feminisme dan konflik etnis.
Politik identitas
Merupakan sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama
atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan
atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas
dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat
dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas,
agama, maupun elemen perekat lainnya.
Politik identitas yang membeda-bedakan SARA sebenarnya adalah satu hal baru dalam ilmu politik. Menurut peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah, Ubed Abdillah, politik identitas merupakan perlawanan terhadap semangat pluralisme yang menentang penyeragaman dalam narasi modernisme.
Berdasar pemahaman
Ubed, maka pengakuan politik identitas dalam satu fenomena politik terjadi
setelah pertemuan Asosiasi Ilmuwan Politik Internasional di Wina tahun 1994.
Namun politik identitas ini tidak berjalan baik. Dalam bukunya berjudul Politik
Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas (2002), Ubed mengutip catatan
peneliti asal Hungaria, Agnes Heller.
“Politik perbedaan
menjadi satu nama baru dari politik identitas; rasisme, (race thinking),
biofeminisme, dan perselisihan etnis menduduki tempat yang terlarang oleh
gagasan besar lama. Berbagai bentuk intoleransi, praktik-praktik kekerasan pun
muncul,” tulis Ubed.
Contoh Seperti Munculnya
narasi-narasi seperti “putra daerah” juga sebenarnya bagian dari politik
identitas yang mengandung unsur SARA. Di Aceh, misalnya, kemenangan kepala
daerah bahkan sudah bisa ditentukan dengan merujuk rumus: “Rakyat Aceh hanya
mendukung pejuang asli dan bukan pejuang nasional.”
Bukan hanya di tingkat nasional, konsep ini terbukti pula menjajah perebutan kekuasaan lokal. Dengan masyarakat Indonesia yang majemuk, politik identitas memang menjadi tawaran menarik bagi politikus di negara dengan sistem demokrasi.
“Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi kekuatan politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite sehingga mampu mempengaruhi aktivitas politik di tingkat lokal,” toreh Direktur Eksekutif CISS (Center Institute of Strategic Studies), M.D.La Ode, dalam Trilogi Pribumisme: Resolusi Konflik Pribumi dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan Dunia (2018).
Contoh keberhasilan
politik identitas di tingkat nasional adalah ketika Anies Baswedan berhasil
mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama. Posisi Anies saat itu didukung oleh
sebagian besar kelompok Islam, seperti Front Pembela Islam dan Majelis Ulama
Indonesia.
BTP yang beragama
Kristen dan berasal dari etnis Tionghoa-Indonesia berada dalam posisi tak
menguntungkan. Selain karena tudingan penistaan agama, kelompok Mayoritas turut
memakai isu bahwa umat Islam harus memilih pemimpin dari agama yang sama.
Politik identitas
bukan hanya ancaman terhadap pluralisme dan demokrasi, namun juga ancaman
serius terhadap politik Indonesia yang berbasis keragaman. Hal ini karena
politik identitas dipolitisasi sejauh itu menjadi satu-satunya preferensi
United United yang valid kepada semua orang dalam memilih pilihan politik.
Konsolidasi Demokrasi Berlandaskan Ideologi pancasila
Dalam kondisi
demokrasi di indonesia ini munculnya isu yang baru-baru ini mencuat ke
permukaan adalah pembatasan pemerintah terkait diskusi atau perkumpulan terkait
pemikiran-pemikiran kiri atau komunis. walaupun pemikiran ini bertolak belakang
dari demokrasi, namun masyarakat sejatinya memiliki kebebasan untuk berdiskusi
dan mengajukan pendapat. Dengan demikian, terlihat bahwa Pemerintah dan Aparat
Negara Indonesia belum efektif melindungi kebebasan individu dan kehidupan
asosiasi menghasilkan individu yang tidak bebas.
Di dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan Masyarakat, Para aktor baik dari elite politik maupun massa harus membuat demokrasi
sebagai satu-satunya prosedur, yang dengan cara yang damai, bukan dengan
kekerasan dan melanggar hukum. Keberadaan politik identitas tidak dapat
dihindari di dunia politik, termasuk di Indonesia. Bahkan di negara maju
seperti negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS),
Maka, perlu adanya Konsolidasi Demokrasi yang sesuai dengan nilai nilai Pancasila.
Demokrasi tidak
dapat bertahan lama tanpa pendampingan
budaya sipil yang kuat dan dukungan oleh populasi yang berkomitmen pada hal-hal
ideal, seperti supremasi hukum, kebebasan individu, kebebasan beragama, debat
bebas dan terbuka, kepemimpinan mayoritas dan perlindungan minoritas. Peradaban
yang dinamis mengembangkan banyak elemen yang penting bagi demokrasi , seperti: partisipasi, akuntabilitas, dan
reformasi politik yang berkelanjutan (Doherty, 2001
Namun, Perlu diingat
beragam beragam varian dan pilihan dalam demokrasi yang dikembangkan diberbagai
negara dipengaruhi oleh struktur sosial budaya masyarakat setempat.
Termasuk
konstruksifilosofis yang mengiringi kelahiran negara bersangkutan.
Bagi Negara yang
karakteristik masyarakat yang komunal dan kolektif. Serta tradisi dan bidaya
kohesif, Demokrasi non liberal tentu menjadi pilihan misalnya saja penerapan
ideologi pancasila di indonesia.
Konsep Demokrasi Pancasila merupakan jalan baru dalam membangun kekuatan politik melalui basis sosiologis masyarakat Indonesia, yaitu sifat gotong royong, solidaritas sosial, dan kolektivitas. Struktur masyarakat majemuk Nusantara memiliki ikatan kohesivitas dan tingkat integrasi yang amat tinggi dalam semangat kebersamaan.
Perlu Kita ketahui bahwa Masyarakat Indonesia secara demografis maupun sosiologis merupakan wujud dari bangsa yang majemuk.
sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia yakni "Bhinneka Tunggal lka" yang artinya walaupun berbeda tetapi tetap satu jua. Ciri yang menandai sifat kemajemukan ini adalah adanya keragaman budaya yang terlihat dari perbedaan bahasa, suku bangsa (etnis) dan keyakinan agama serta kebiasaan-kebiasaan kultural lainnya.
Dari kemajemukan inilah menyebabkan munculnya suatu integrasi jika terciptanya penyesuaian dari unsur unsur yang berbeda didalam masyarakat, sehingga menghasilkan keserasian fungsi dalam pola kehidupan masyarakat. Pada satu sisi, kemajemukan budaya Bangsa ini merupakan kekayaan yang sangat bernilai, namun di sisi yang lain keragaman kultural memiliki potensi untuk terjadinya disintegrasi atau perpecahan bangsa.
Pluralitas budaya seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik suku bangsa, agama, ras dan antargolongan, yang dimana seringkali dilakukan oleh suatu kelompok demi kepentingan tertentu.Salah satu potensi (negatif) dari karakteristik masyarakat yang majemuk, seperti yang telah saya bahas sebelumnya adalah konflik, yang telah mewujud dalam berbagai bentuk pertikaian/SARA.
Fakta empirik dan historis ini yang menginspirasi bapak pendiri bangsa merumuskan dasar negara Pancasila yang juga menjadi konstruksi demokrasi khas Indonesia.
Referensi :
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 4 (1), January 2019, pp. 78-98
ISSN 2477-8060 (print), ISSN 2503-4456 (online)
DOl:https:/doi.org/10.15294/ipsr.v4il.17214
Political Science Program, Universitas Negeri Semarang.
Rozi, S. (Ed.). (2016). Demokratisasi dan Pengelolaan Politik Identitas di Indonesia. Jakarta: Mahara Publishing dan P2P LIPI.
Simandjuntak, D. (2018). Identity politics looms over Indonesia‟s presidential election. Retrieved November 13, 2018, from http://www.eastasiaforum.org/2018/1/10/identity-politics-looms-over-indonesias-presidential-election/
Singh, B. (2007). The Talibanization of Southeast Asia: Losing the war on terror to islamist extremists. Greenwood Publishing Group.
Jones, S. (2013). Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran.
Komentar
Posting Komentar